Artikel yang sangat bagus dari sebuah milis, semoga memberikan pencerahan kepada rekan-rekan sekalian yang mungkin terlalu sibuk sehingga melewatkan hal-hal kecil.
ini bukan tulisan saya,but i really really like tulisannya,so please do enjoy:
KALAU kita menyadari sejenak apa yang terjadi di
sekeliling, tentu akan merasakan sebuah aliran kekuatan
yang dahsyat dari pribadi-pribadi yang ada. Ada tukang
batu yang rela bekerja sampai malam mengerjakan galian
pipa, ada banyak sopir angkutan umum bersaing mengejar
setoran, ada banyak pejabat korupsi di sana sini dari
yang mulai jutaan sampai triliunan rupiah, ada konflik
di sana sini merebutkan kursi kepemimpinan sebuah
lembaga negara, ada orang yang mengejar hadiah jutaan
rupiah sebegitu rupa sehingga orang lain tidak diberi
kesempatan, dan masih banyak lagi peristiwa yang kita
alami setiap harinya.
Dalam wawancaranya dengan seorang psikiater anggota
American Board of Psychiatry and Neurology, Howard
Cutler, MD, pemimpin politik dan spiritual bangsa
Tibet, Dalai Lama keempat belas menyebut bahwa fenomena
atau gejala ini merupakan gerak hidup manusia menuju
kebahagiaan.
Gerak ini, menurut pemilik nama asli Tenzin Gyatso,
sudah dibaca dan dirumuskan sejak lama oleh para filsuf
sejak Aristoteles sampai Willliam James.. Mereka
berpendapat bahwa tujuan akhir keberadaan atau
eksistensi manusia di dunia ini adalah untuk mencari
kebahagiaan. Sayang, kecenderungan terbesar manusia
dari jaman ke jaman adalah mementingkan diri sendiri
serta mau menang sendiri dalam mencapai kebahagiaan
itu.
Padahal, menurut Dalai Lama, justru sebaliknya, orang
yang mementingkan diri sendiri, menjauhkan diri dari
pergaulan, selalu cemas, iri dan membenci orang lain
adalah orang yang tidak bahagia.
"Orang yang bahagia umumnya lebih mudah bergaul, luwes,
kreatif, penyayang, pemaaf, murah hati, selalu bersedia
mengulurkan bantuan untuk orang lain dan tidak
sombong," ujar Dalai Lama.
Cenderung Tamak
Banyak orang berpikir bahwa dengan memiliki jabatan
tinggi, kursi kepemimpinan di sebuah lembaga tinggi,
pendidikan tinggi, uang yang banyak dan segala macam
kepuasan lain adalah faktor-faktor yang bisa
membahagiakan.
Dalai Lama menyebutkan, kekayaan, kepuasaan atas
jabatan tertentu atau kemuliaan, kesehatan,
persahabatan, kepuasaan akan pengetahuan, pencerahan
atas sebuah pandangan spiritual tertentu bisa jadi
menyebabkan kita bahagia.
Namun, menurut Sr. Seraphine OSF, itu bukan bentuk
kebahagiaan sejati. "Kebahagiaan sejati terletak di
dalam diri kita sendiri," ujar Pemimpin Wisma Samadi
Emaus, Jakarta.
Keinginan kita untuk mengejar segala sesuatu semisal
uang, barang-barang tertentu, jabatan, pesahabatan,
penampilan yang seksi, dan lain-lain selalu tidak akan
habis.
Ketika keinginan yang satu terpenuhi, keinginan yang
lain akan muncul. Begitu seterusnya. Kalaupun terpenuhi
semua keinginan itu, menurut Seraphine itu hanya akan
membawa ke kebahagiaan yang semu. "Karena hanya
berlangsung sementara. Sesudah semuanya dipeluk,
dimiliki, lantas mau apa? Kosong hati ini rasanya,"
ujarnya membagi pengalaman.
Bahwa manusia selalu memiliki keinginan, bagi teolog
lulusan University of Poona India, Alexander
Dirjosusanto itu dianggapnya wajar. Sayangnya,
kecenderungan umum dari kita adalah selalu tidak puas
dengan apa yang sudah kita capai. Manusia cenderung
tamak.
"Orang sering kali merasa gelisah pada apa yang
semestinya tidak perlu digelisahkan, " jelasnya. Mungkin
seseorang sudah cukup hanya dengan menggunakan telepon
genggam seharga 300 ribu. Tapi, karena gengsi atau
hanya sekedar ingin, lalu membeli yang harganya tiga
juta rupiah.
Begitu tamaknya manusia, ada sebuah sindiran yang
begitu tajam berbunyi 'Biarpun seluruh dunia menjadi
miliknya, manusia akan meminta yang lebih lagi. Bahkan
seluruh jagat raya ini'.
Bersyukur Lebih Awet
"Satu-satunya obat untuk menjauhi sifat tamak adalah
sikap untuk selalu bersyukur," ungkap Dalai Lama kepada
Howard. Langkah ini sangat efektif karena pada dasarnya
hal-hal material tidak bisa dijadikan ukuran
kebahagiaan seseorang. Tidak ada jaminan bahwa kekayaan
saja dapat memberi Anda kebahagiaan atau kepuasaan yang
Anda cari.
"Apalagi, perasaan puas kita sangat dipengaruhi oleh
kecenderungan untuk melakukan pembandingan, " ujar
Tenzin. Setiap kali, kita cenderung melihat dan merasa
orang lain lebih beruntung dari diri kita. Padahal kita
pun sebenarnya beruntung.
Ketika melihat tetangga mendapat hadiah jutaan rupiah,
kita lalu berupaya supaya mendapat hadiah yang sama.
Saat orang lain punya telepon genggam, kita berupaya
mendapatkannya. Memang kepuasaan akan terasa. Namun
hanya sebentar. Kalau tidak mendapat, kekecewaan dan
frustasi yang didapat. Kita menganggap Tuhan tidak adil
dan sebagainya.
"Maka, kalau kita hendak membandingkan diri dengan
orang lain, bandingkanlah dengan mereka yang kurang
beruntung dan merenungkan semua yang kita miliki,"
jelas Alex.
Dalai Lama cerita kepada Howard tentang sejumlah
penelitian. Dalam sebuah studi di Universitas of
Wisconsin, Milwaukee, AS, sejumlah wanita diminta
melihat gambar-gambar kondisi hidup yang sangat buruk
di Milwaukee di sekitar abad ke-20.
Mereka juga diminta membayangkan dan menulis
tragedy-tragedi pribadi seperti terbakar, cacat seumur
hidup. Sesudah menyelesaikan latihan, para wanita ini
diminta menilai mutu hidup mereka sendiri. Latihan ini
menghasilkan suatu peningkatan rasa puas atas hidup
mereka masing-masing.
Sebuah eksperimen lain di State University of New York,
Buffalo, para subyek diminta menyelesaikan kalimat
"Saya bersyukur karena saya bukan?" Sehabis lima kali
mengulang latihan ini, para subyek menyatakan mengalami
peningkatan nyata dalam rasa puas mereka terhadap
hidup.
Kelompok subyek lain diminta menyelesaikan kalimat
"Andaikata saya menjadi?" Kali ini eksperimen ini
menyebabkan para subyek merasa kurang puas dengan hidup
masing-masing.
Penelitian-peneliti an ini menurut Dalai Lama dilakukan
untuk menunjukkan bahwa tingkat kepuasaan seseorang
terhadap hidupnya dapat ditingkatkan hanya dengan
mengubah perspektif atau sudut pandang orang. "Dalam
hal ini sikap mental kita menjadi penentu utama apakah
kita mau bahagia atau tidak," ujar sang biku.
Baik Alex maupun sang biku menyebut bahwa kebahagiaan
ditentukan oleh pikiran seseorang sendiri ketimbang
oleh peristiwa-peristiwa luar dan hal-hal material.
Saya bisa bahagia karena dalam diri saya punya persepsi
keadaan sekarang ini sudah membahagiakan saya. Bukan
saya bahagia bila sudah punya ini atau itu, kalau tidak
punya saya tidak bahagia. Menurut Alex, semua hal yang
kita miliki entah itu kekayaan, kesehatan,
persahabatan, jabatan tidak akan memberi dampak yang
membahagiakan yang berkepanjangan tanpa sikap mental
yang benar. "Paling hanya memberi rasa senang sesaat,"
ujar Pastor asal Promasan, Yogyakarta ini.
Sebagai contoh, jika Anda menyimpan kebencian atau
kemarahan yang mendalam, pikiran tersebut akan merusak
kesehatan Anda. Dengan demikian merusak salah satu
prasyarat kebahagiaan. Begitu pula jika Anda tidak
bahagia dan bawaannya hanya kesal saja, kesehatan tubuh
tidak banyak artinya.
Sebaliknya, Jika Anda dapat mempertahankan pikiran yang
tenang, damai, tenteram, Anda dapat menjadi orang yang
sangat bahagia meskipun kesehatan Anda buruk.
Alex menegaskan, makin tinggi tingkat ketenangan
pikiran kita, makin besar kedamaian yang kita rasakan,
makin besar kemampuan kita menikmati hidup yang bahagia
dan menyenangkan.
Dalai Lama menambahkan, " Selama Anda tidak pernah
menjalani disiplin batin yang bisa mendatangkan
kedamaian pikiran, tidak peduli kelimpahan materi atau
kondisi yang Anda miliki, semua itu tidak akan pernah
memberi Anda rasa sukacita dan bahagia yang Anda
dambakan. Sebaliknya, bila Anda memiliki batin yang
terpuaskan, pikiran yang tenteram dan kemantapan sampai
batas tertentu, bahkan jika Anda memiliki bermacam
kelengkapan lain yang biasanya menjadi prasyarat
kebahagiaan, Anda masih mungkin menjalani hidup bahagia
dan menyenangkan, ".
Ngapain Ngoyo?
Dalai Lama mengatakan bahwa apakah kita bahagia atau
tidak tegantung persepsi kita atas hidup yang kita
jalani. Kalau kita mau bersyukur dan puas atas apa yang
kita kerjakan dan kita peroleh, dengan sendirinya sikap
itu akan membahagiaan kita. Dengan kata lain,
sebenarnya kebahagiaan dapat dicapai lewat latihan
mental.
bahwa upaya untuk mencapai hal-hal yang kita inginkan
itu sebagai sesuatu yang tidak baik. "Bahwa kita
bekerja supaya bisa membeli rumah, pakaian dan
kebutuhan lain itu adalah normal. Yang tidak normal
adalah bila kita terobsesi dan begitu ambisius seolah
hidup hanya untuk memenuhi seluruh keinginan itu," ujar
pemenang hadiah Nobel perdamaian tahun 1989 ini.
Alex menyebutkan, bahwa istilah Jawa sakmadyo
(secukupnya) adalah kata tepat untuk itu. Bila kita
sudah cukup terbantu dengan memiliki mobil kijang,
kenapa lagi harus membeli Mercedes. Secukupnya ini
akhirnya akan membawa kita pada sikap bersahaja. Kita
berupaya karena memang hal itu perlu diupayakan. Sejauh
mana perlu, itu harus ditelusuri dari motivasi kita.
Saya mau beli mobil Honda atau Mercedes. Secara
fungsional Honda pun cukup, tapi ternyata gengsiku
mengatakan aku perlu Merci. Nah, mana yang lebih
penting buat Anda, fungsi atau gengsi Anda?
Selain memenuhinya dengan tidak ngoyo (jawa= ambisius)
atas apa saja yang kita inginkan, Dalai Lama menyebut
bahwa teknik untuk bisa berbahagia adalah dengan
menghargai apa yang sudah kita miliki sekarang.
Alex menambahkan, sikap seperti ini bisa kita lihat
dalam kebiasaan orang Jawa. Dalam suatu kecelakaan ada
yang mengatakan "Untung, telinga saya saja yang lecet?"
atau "Untung hanya kaki saya yang buntung, coba kalau
??"
Berpikir optimis semacam merupakan sikap bahwa kita
bisa menghargai keadaan yang sudah kita terima.
Penghargaan ini pada akhirnya memunculkan sikap syukur,
terima kasih, bahwa kita masih beruntung.
Perlu Kebebasan Batin
Menurut Sr. Seraphine, untuk mendapat kebahagiaan, kita
perlu mengatur waktu (time manajemen). Dari 24 jam
hidup kita sehari, seberapakah waktu kita luangkan
untuk diri sendiri, keluarga, profesi, dan kegiatan
social?
Kita perlu mengatur agar semuanya mendapat bagian
secara proporsional. Perhatian pada proporsi yang tepat
dan seimbang menandakan bahwa kita sendiri sadar, hidup
ini tidak hanya untuk mengejar satu hal, uang misalnya.
Kalau semua mendapat bagian, kita akan berbahagia. Dari
sela-sela waktu itu, akan baik sekali bila kita selalu
terhubung dengan Tuhan dengan doa dalam hati. "Mungkin
di saat mengetik, kita ucapkan sebaris doa Tuhan,
kasihanilah kami atau yang lain dan itu bisa kita
lakukan selama 24 jam waktu kita" ujar biarawati
Katolik ini.
Sikap seperti ini akan membantu kita menyadari betapa
seluruh upaya yang kita kerjakan sepanjang hari
bukanlah semata usaha kita sendiri, melainkan berkat
bantuan Tuhan juga.
Mereka yang muslim pun bisa melakukannya dengan model
zikir dalam hati menyebut salah satu asma Allah. la
ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) atau Allah
Hu (Dialah Yang).
Dengan begitu, setiap kali kita mengalami peristiwa
entah itu menyenangkan atau tidak, rasa syukur akan
selalu muncul. "Batin kita pun akan merasa bebas karena
tidak lekat terhadap hal tertentu," jelas wanita usia
75 tahun ini.
Kelekatan terhadap barang duniawi seperti uang,
jabatan, pujian, dan sebagainya sering membuat kita
tidak tenteram. Hidup terasa melelahkan karena seluruh
daya upaya diforsir untuk mencapai semua itu. Tanda
lekat berlebihan terhadap hal-hal itu adalah bila tidak
tercapai, kita akan kecewa, sedih, frustasi
berkepanjangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
isi kertas ujian ini :